Jauh sebelum bangsa Arab dan Shirazi mengarungi lautan dan menemukan kota-kota eksotis Kilwa, Lamu, dan Zanzibar, jauh sebelum bangsa Eropa mengenal Afrika dan kemudian menjajahnya, pelaut-pelaut Nusantara sesungguhnya sudah berjaya sampai Afrika. Jejak mereka tidak hanya ditemukan dalam bahasa, budaya, dan semangat kebaharian yang masih hidup sampai sekarang, tetapi juga terpatri dalam darah masyarakat Madagaskar.
Dalam bukunya, The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times—diterjemahkan dan diterbitkan Penerbit Mizan dengan judul "Penjelajah Bahari" tahun 2008—Robert Dick-Read coba memecahkan misteri keberadaan pelaut-pelaut pertama dunia yang gagah berani ini. Ia percaya, jejak kaki mereka di sepanjang pantai dan gerak dayung mereka di riak samudra dalam perjalanan ke garis batas cakrawala masih bisa ditelusuri.
Pelaut Nusantara
Jauh sebelum bangsa Arab dan Shirazi mengarungi lautan dan menemukan kota-kota eksotis Kilwa, Lamu, dan Zanzibar, jauh sebelum bangsa Eropa mengenal Afrika dan kemudian menjajahnya, pelaut-pelaut Nusantara sesungguhnya sudah berjaya sampai Afrika. Jejak mereka tidak hanya ditemukan dalam bahasa, budaya, dan semangat kebaharian yang masih hidup sampai sekarang, tetapi juga terpatri dalam darah masyarakat Madagaskar.
Dalam bukunya, The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times—diterjemahkan dan diterbitkan Penerbit Mizan dengan judul "Penjelajah Bahari" tahun 2008—Robert Dick-Read coba memecahkan misteri keberadaan pelaut-pelaut pertama dunia yang gagah berani ini. Ia percaya, jejak kaki mereka di sepanjang pantai dan gerak dayung mereka di riak samudra dalam perjalanan ke garis batas cakrawala masih bisa ditelusuri.
Pelaut Nusantara
Dick-Read tidak hanya mempelajari sejarah Afrika, tetapi juga kejayaan bahari pulau-pulau di Asia Tenggara dan wilayah sebelah utara Samudra Hindia dari masa awal hingga akhir milenium pertama era Masehi. Ia menaruh perhatian pada hubungan perniagaan antara Roma dengan India dan Timur Jauh, terutama rempah-rempah. Suatu penelitian yang membawanya ke kesimpulan bahwa kayu manis dari Nusantara dibawa langsung ke Roma dengan memutari "Tanduk Afrika" tanpa melalui pasar India ataupun Sri Lanka.
Lebih dalam lagi, Dick-Read mempelajari kultur Afrika, mencari asal-usul kehadiran tanaman pisang, ubi jalar, dan keladi di benua itu serta mengamati kesamaan bahasa, alat musik, dan bahkan manik-manik. Semua itu akhirnya membuat ia yakin: para pelaut andal Nusantara tidak sekadar memutari "Tanduk Afrika". Mereka juga singgah dan mewariskan tanaman, kemampuan bercocok tanam, beragam budaya, dan yang terutama adalah genetik. Inilah yang membuat sebagian masyarakat pesisir Afrika, terutama Madagaskar, memiliki kemiripan fisik dengan kita, orang Indonesia.
Jejak tersebut kemudian dibuktikan dalam penelitian bersama Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Indonesia dengan Universitas Arizona, Amerika Serikat; Universitas Massey di Selandia Baru; dan Universitas Toulouse, Perancis. Hasilnya—yang dipublikasikan dalam jurnal The Royal Society, 2012—menyimpulkan bahwa penduduk Madagaskar yang disebut orang Malagasi adalah hasil perpaduan timur-barat dengan nenek moyang Afrika dan Indonesia.
Sebenarnya Sergio Tofanelli dari Universitas Pisa, Italia, sudah melihat bahwa sebagian besar orang Malagasi memiliki ikatan maternal dengan kepulauan di Asia Tenggara. Tofanelli juga menyebutkan, asal-usul orang Malagasi dapat ditelusuri dari kontak penduduk asli dengan para pengelana "penunggang ombak" yang berbahasa Astronesia dan Bantu. Namun, ia tidak dapat menentukan kapan percampuran ini mulai terjadi.
Jejak DNA
Tanda tanya itulah yang dijawab penelitian Lembaga Eijkman dan kawan-kawan. Hasil penelitian DNA—akronim dari deoxyribonucleic acid atau rantai panjang polimer nukleotida yang mengandung informasi genetik—menunjukkan bahwa para pelaut andal Nusantara sudah sampai ke Madagaskar 1.200 tahun lalu.
Uniknya, kehadiran DNA orang Indonesia ini ditelusuri dari mitokondria DNA yang diwariskan kromosom ibu. Ini berarti para perempuan Indonesia sudah sampai ke Madagaskar kala itu. Merekalah yang kemudian menjadi nenek moyang orang Malagasi.
Perkembangan uji DNA memang membuka berbagai kemungkinan yang luar biasa. Dengan membaca urutan sekuen DNA, bisa diketahui riwayat kehidupan nenek moyang kita. Di sinilah evolusi tubuh terekam seiring dengan perubahan pola makan, lingkungan, ataupun aktivitas. Hasil perbandingan dengan DNA populasi di sejumlah tempat bisa menggambarkan proses berlangsungnya migrasi, kapan, dan hubungan kekerabatannya.
Pada kasus orang Malagasi, masih ada penelitian lanjutan untuk melihat apakah pria Indonesia juga menjadi nenek moyang mereka. Penelitian difokuskan pada filogeni kromosom Y yang hanya ada pada pria.
Siapa mereka?
Kemunculan DNA Indonesia pada orang Malagasi 1.200 tahun lalu itu seiring dengan masa-masa keemasan bahari Kerajaan Sriwijaya. Sejak abad VII, Sriwijaya memang menguasai sebagian besar Jawa, Sumatera, dan hampir seluruh Semenanjung Malaka.
Catatan-catatan China yang dikutip Dick-Read menyebutkan, Sriwijaya adalah kerajaan dengan kekuatan dan kemakmuran yang belum pernah ada di Nusantara sebelumnya. Sriwijaya unggul karena aliansinya dengan seluruh masyarakat bahari penting, antara lain Jawa dan Genting Tanah Kra, yang memegang kendali atas pintu masuk menuju Nusantara dan China.
Tulang punggung kejayaan Sriwijaya adalah orang-orang Bajo dan Bugis. Selama berabad-abad, mereka menjadi pemain utama pengangkutan rempah-rempah, kayu cendana, mutiara, damar, sarang burung walet, sagu, dan sirip hiu. Mereka juga dikenal sebagai prajurit yang setia sekaligus andal.
Bisa jadi, merekalah nenek moyang orang Madagaskar dan mewariskan ilmu di sana. Sebaliknya, kita kehilangan kebaharian.
(AGNES ARISTIARINI)
0 komentar:
Posting Komentar